PILKADA YANG TIDAK MANDIRI
Akhirnya setelah menunggu kurang lebih dua bulan, Presiden Yudhoyono dipastikan akan menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pilkada pada minggu ini. Sebuah penantian yang cukup lama dinantikan oleh banyak pihak karena menyangkut hajat besar di daerah. Pilkada memang menjadi sebuah pekerjaan yang besar untuk tiap daerah karena inilah pesta demokrasi yang pertama secara langsung untuk memilih pimpinan daerah masing-masing.Namun, ada banyak catatan yang harus kita cermati mengenai pelaksanaan pilkada nanti. Karena kalau diperhatikan proses terbitnya segala aturan pelaksana pilkada sarat kepentingan politis. Seperti contohnya di UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana peserta pemilu dicalonkan oleh partai politik yang memiliki jumlah suara tertentu. Sementara, tanggung jawab pelaksana pilkada kepada DPRD yang notabene adalah partai politik yang mencalonkan peserta. Di samping itu, PP tentang Pilkada yang dibahas cukup lama dikhawatirkan sebagai proses “bargain politik” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Berikut ini akan saya ringkaskan berbagai problematika pelaksanaan pilkada. Paling tidak menurut hemat saya, permasalahan mendasar terletak pada kemandirian dari pemilihan umumnya. Pelaksanaan pilkada nantinya akan berada dalam rezim pemerintahan daerah yang berbeda kemandiriannya dengan pemilu presiden dan legislatif karena bab Pilkada berada dalam UU tentang Pemda bukan di UU Pemilu. Dalam konteks demokratisasi, pemerintahan baru yang sekarang semestinya berada dalam sebuah pengaturan undang-undang yang komprehensif. Pemahamannya adalah Undang-undang pemilu mestinya harus menyangkut semua pemilu: legislatif di pusat dan daerah, presiden dan kepala daerah. Bukan terpisah dan tidak konsisten dari keberlangsungan tiga undang-undang pemilu.
Di negara yang demokratis, penyelenggaraan pemilu semestinya dilangsungkan secara mandiri dan bebas dari berbagai kepentingan politik dan pemerintahan. Sebab, pemilu diharapkan tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik, baik itu dari partai atau calon peserta pemilu dan juga proses pemerintahan tidak terganggu oleh kepentingan politis dari pemenang pemilu. Oleh karena itu, sebenarnya sudah sangat baik telah diatur oleh konsititusi kita di UUD 1945 pasal 22 ayat 5 yang menyatakan bahwa “pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Sayangnya, pengaturan pemilu tidaklah semulus yang kita bayangkan. Aturan pemilu dalam hal organisasi penyelenggara pemilu, di aturan pemilu legislatif dan presiden UU No.12/2003 dan UU No.23/2003 berbeda dengan aturan pemilu kepala daerah di UU No.32/2004.
Di UU No.12/2003 dan UU No.23/2003 telah tegas garis yang dituangkan dari pasal 22 ayat (5) UUD 1945 bahwa KPU harus mandiri dan bersifat nasional. Tetapi, di UU No32/2004, peran Depdagri sangat besar dengan adanya Peraturan Pemerintah dan pertanggung jawaban hasil pilkada kepada DPRD.
Kewenangan dari KPU adalah dilihat dengan produk hukumnya yaitu Keputusan KPU dapat diinterpretasikan secara hukum setara sebagai peraturan pelaksana undang-undang yaitu peraturan pemerintah. Sementara, pertanggung jawaban KPU sebenarnya hanya membuat laporan kepada Presiden dan DPR. Di samping itu, KPU bersifat nasional dengan tanggung jawab dan koordinasinya secara nasional. Sehingga dapat dilihat jelas bahwa semestinya posisi dan kewenangan KPU secara mandiri berada dalam produk hukum serta pertanggung jawabannya.
Sementara itu, kalau merujuk pada UU No.32/2004 tentang kewenangan KPUD, maka terlihat bahwa hubungan yang terjalin nantinya akan bernuansa politis antara penyelenggara, peserta dan pemerintah. KPUD harus mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Sementara, calon peserta pilkada dicalonkan oleh fraksi di DPRD. Dan terakhir, aturan pelaksana pilkada merujuk pada PP yang dibuat oleh Depdagri. Hubungan tersebut dapat dilihat sebagai berikut: KPUD sebagai pelaksana yang mandiri tentu akan mudah diintervensi oleh kepentingan calon melalui partai politik karena harus bertanggung jawab kepada DPRD. Apalagi hampir sebagian besar DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dikuasai oleh Partai Golkar, yang kebetulan saat ini berada dalam posisi penguasa. Belum lagi dugaan korupsi yang semakin menguat dari penyimpangan anggaran oleh anggota DPRD. Sementara itu, semua aturan pelaksana pemilu yang nantinya dibuat oleh KPUD harus merujuk kepada Peraturan Pemerintah, bukan kepada Keputusan KPU Nasional. Sehingga pelaksanaan pilkada sebenarnya lebih mengkhawatirkan dibandingan Pemilu 2004. Paling tidak, nuansa intervensi politik dan keterlibatan pemerintah pusat seperti zaman Orde Baru akan terasa dialami oleh pelaksana pilkada yaitu KPUD dan juga para calon peserta pilkada nanti.
Itulah mengapa saat ini beberapa LSM yang peduli terhadap pemilu (seperti CETRO, JAMPPI, JPPR, ICW, dan Yappika) dan juga penyelenggara pilkada yaitu KPUD mengajukan judicial review terhadap UU No.32/2004 untuk merubah bab tentang pilkada, khususnya masalah kemandirian pemilu. Alasannya sangat jelas bahwa aturan pilkada merugikan banyak pihak yaitu pemilih, penyelenggara dan tentu calon peserta. Kalaupun akhirnya pemerintah pusat melihat upaya ini sebagai pengganjalan terhadap pilkada bulan Juni nanti, saya hanya melihat pemerintah pusat terkesan berusaha menutupi kelemahannya. Di samping itu, pemerintah pusat melalui Depdagri juga ingin menutupi rasa malunya dengan ide percepatan tahapan pilkada akibat proses pembahasan PP yang berlarut-larut. Padahal tahapan pilkada yang dipersingkat tersebut diakui oleh banyak KPUD sangat menyulitkan gerak dan langkah dalam menyukseskan pilkada. Ringkasnya, proses pilkada memang banyak kelemahan secara konstitusi.
Kalaupun sekarang ini KPUD sangat berharap banyak terhadap terbitnya PP tentang Pilkada karena mereka sebagai penyelenggara pilkada tidak bisa berbuat banyak untuk memulai tahapan pilkada ini. Mestinya memang saat ini sosialisasi menjadi agenda paling penting. Namun hambatan yang jelas adalah masalah anggaran dananya, berasal dari mana karena revisi APBN untuk persiapan Pilkada belum disetujui oleh Menteri Keuangan.
Tulisan ini sebenarnya hanya ingin memberi gambaran yang ringkas mengenai masalah pilkada. Kalaupun akhirnya Pilkada berjalan dengan aturan hukum dari UU No.32/2004 dan PP tentang Pilkada, saya berharap semua berjalan dengan baik, tanpa hambatan dan perlunya pengawasan dari berbagai LSM tentang proses tersebut di masing-masing daerah. Tetapi, kalaupun nanti hasil pilkada hanya menuai kritik dan protes yang tak kunjung habisnya, maka solusi terbaik adalah segera merevisi UU No.32/2004 dan segala aturan hukum yang menyangkut pilkada. Di samping, harus ada amandemen terhadap berbagai perundang-undangan pemilu lainnya.
1 Februari 2005