Tuesday, January 24, 2006

PELAYANAN PUBLIK BELUM PARTISIPATIF

Lebih dari 70 persen responden menilai bahwa selama ini pelayanan publik tidak partisipatif, khususnya dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan. Salah satu alasannya karena petugas pelayanan tidak berorientasi pada kebutuhan dan keinginan penggunan layanan. Sebagian besar responden juga mengeluhkan bahwa selama ini pengelolaan keluhan yang menyangkut kinerja pelayanan tidak pernah ada perubahan signifikan. Karena selama ini pihak penyelenggara pelayanan tidak memiliki mekanisme yang jelas dalam pengelolaan keluhan yang baik.
Kondisi tersebut merupakan kenyataan yang terekam dalam hasil penelitian YAPPIKA mengenai kinerja pelayanan publik, khususnya di 8 kabupaten/kota wilayah kerja YAPPIKA. Dalam penelitian ini, YAPPIKA melihat ada tiga isu dalam pelayanan publik yang menarik yaitu pendidikan dasar, pelayanan puskesmas dan pelayanan administrasi kependudukan (KTP). Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengevaluasi kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan juga mengevaluasi pelibatan masyarakat dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Lebih kurang 1200 kuesioner kami sebar untuk menganalisa persoalan pelayanan publik di daerah-daerah tersebut.
Tulisan ini akan membagi dua bahasan utama yaitu: kondisi umum yang terjadi pada pelayanan publik, dan kondisi per issu pelayanan publik. Secara khusus, kami mengukur pelayanan publik dengan menggunakan dimensi yang dikupas oleh Zeithamal, Parasuraman dan Berry yaitu: (a) tangible (bukti fisik); menyangkut kesiapan dari sarana dan pra sarana pendukung seperti sarana fisik, komputerisasi, adanya ruang tunggu dan lainnya. (b) reliability (reliabilitas): menyangkut kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya terhadap konsumen, termasuk memberikan layanan akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati. (c) responsiveness (daya tanggap); kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap keinginan konsumen. (d) Assurance (jaminan); kemampuan dengan keramahan, sopan santun pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen dengan tujuan pula menumbuhkan kepercayaan pelanggan dan menciptakan rasa aman bagi para konsumen. (e) Emphaty (empati); memahami masalah para pelanggan dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personil kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.

Kondisi secara Keseluruhan
Dari hasil penelitian, setidaknya kami menemukan tiga persoalan penting yang menghambat peningkatan kinerja pelayanan publik. Pertama, kondisi birokrasi yang masih lemah dalam upaya peningkatan pelayanan. Dalam konteks birokrasi ini persoalan yang kami pikir penting menyangkut: pertama, masih lemahnya kompetensi, khususnya kapasitas pelayanan yang prima. Para petugas pelayanan masih berorientasi bukan untuk melayani masyarakat, melainkan bagaimana bisa memanfaatkan peluang dari masyarakat. Sehingga, peningkatan kapasitas SDM agar lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat adalah sebuah keharusan. Kedua, lemahnya inovasi birokrasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Hal ini lebih disebabkan masih kuatnya paradigma sentralisme dalam merancang dan membuat program kegiatan. Sehingga, inovasi ataupun kreatifitas baru tidak muncul dari aspirasi bawah. Dalam konteks ini, persoalan pemanfaatan terhadap dana Otonomi Khusus (Otsus) di Jayapura dan Sorong menjadi wacana yang terus dikritik karena ketidakjelasan penggunaan dana tersebut. Meskipun demikian, inovasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan di Kota Palu patut diapresiasi karena telah mendapat respon positif di tingkat nasional dan juga khususnya di masyarakat.
Kedua, masih kurangnya perhatian terhadap isu pelayanan dasar dalam penganggaran daerah. Hal ini nampak dari masih kurangnya berbagai fasilitas dalam upaya peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan, khususnya dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Meski diakui juga bahwa persoalan dalam penganggaran yang tidak partisipatif juga masih menjadi kritik terhadap kinerja pemerintah daerah.
Ketiga, lemahnya kontrol masyarakat dalam pelayanan. Masyarakat selama ini dilibatkan hanya sebagai user (pemakai) bagi pelayanan yang tidak mengetahui bagaimana mekanisme pengawasan pelayanan. Bentuk mekanisme pelayanan selama ini hanya bersifat internal, tidak mengajak pihak luar untuk menilai kualitas pelayanan yang ada.

Kondisi berdasar isu
Secara khusus bila dilihat berdasarkan isu pelayanan yang diteliti YAPPIKA, ada beberapa hal yang menarik. Dalam isu kesehatan, persoalan inovasi yang dikembangkan secara positif oleh Dinas Kesehatan Kota Palu ternyata mendapat dukungan yang memadai dari masyarakat. Sayangnya, masih kuatnya paradigma sebagai pelayan yang belum mengajak partisipasi masyarakat, mengakibatkan ide-ide pembuatan forum bersama antara penyedia layanan dengan pengguna layanan belum dapat terelaborasi dengan baik. Persoalan politik yang melingkupi kerja dinas kesehatan di Kota Toli-toli nampaknya menghambat kerja dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan.
Dalam isu pendidikan dasar, kritik terhadap pemanfaatan dana otonomi khusus di Jayapura menjadi perhatian serius manakala persoalan mekanisme pengelolaan dana pendidikan dan pembuatan program kegiatan masih tersentralistis di pemerintahan provinsi. Hal yang senada juga terjadi di Makassar manakala peran pemerintah pusat dan provinsi perlu ditingkatkan dalam upaya peningkatan kompetensi SDM, khususnya tenaga pengajar, di samping peningkatan fasilitas sarana dan pra sarana sekolah.
Dalam isu administrasi kependudukan, khususnya KTP, persoalan terletak pada biaya retribusi KTP yang tidak jelas. Hal ini terungkap manakala warga ketika mengurus KTP baru ataupun memperpanjang tidak mendapatkan informasi yang jelas akan biaya resmi yang harus dikeluarkan. Persoalan cepat-lambatnya warga memperoleh KTP juga menjadi catatan khusus yang ditujukan kepada petugas dari dinas kependudukan. Yang perlu mendapat apresiasi adalah keinginan kuat dari pihak pimpinan Dinas Kependudukan untuk menertibkan petugasnya yang melakukan penyimpangan.

Beberapa Prospek Peningkatan Pelayanan
Dari hal-hal di atas, nampaknya terlihat ada beberapa prospek peningkatan pelayanan, terutama dalam pelayanan yang dikelola oleh aparat pemerintah. Pertama, dengan adanya otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk berkreatifitas bagi peningkatan pelayanan. Dari perkembangan otonomi daerah yang memberi kesempatan secara luas bagi kabupaten/kota dalam merancang program pembangunan semestinya mampu meningkatkan kreativitas, bukan sebaliknya. Beberapa daerah yang sukses memberikan pelayanan prima seperti Jembrana adalah contoh dimana inovasi dan kreatifitas dibangun dari daerah, bukan dari pusat. Sehingga, dibutuhkan komitmen yang jelas dan tegas dari pihak pemerintah baik dalam tingkat pusat ataupun provinsi dan kab/kota dalam pelayanan publik dengan mengakomodasi peningkatan dalam anggaran, peningkatan kompetensi SDM petugas dan juga upaya reformasi birokrasi yang lebih peka terhadap aspirasi masyarakat. Kedua, dukungan masyarakat terhadap upaya perbaikan pelayanan terlihat jelas dalam penelitian ini. Karena masyarakat secara keseluruhan menantikan pelayanan yang berpihak untuk rakyat. Untuk itu, diperlukan sebuah mekanisme forum yang jelas dalam pelibatan partisipasi masyarakat dalam peningkatan kinerja pelayanan. Paling tidak, ide Piagam Warga yang mencerminkan kesepakatan dari forum bersama antara masyarakat dan penyedia layanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bisa menjadi salah satu solusi.
Meski demikian yang masih menjadi tugas bersama bagi kita semua adalah perlunya payung hukum yang jelas dalam memberi batasan bagi pelayanan publik. Kebutuhan payung hukum tersebut nantinya akan memberi penegasan akan makna pelayanan publik yang semestinya dilakukan oleh penyedia layanan. Tentunya hal tersebut tidaklah menegasikan partisipasi masyarakat, malah sebaliknya memanfaatkan masyarakat sebagai pengguna layanan yang nantinya akan menjadi standar pelayanan yang harus dipatuhi. (*)
ALIANSI, 31/Jan 2006

MENGGAGAS MEKANISME KOMPLAIN DALAM PELAYANAN PUBLIK

(Review Buku: Mekanisme Komplain; Pendekatan untuk Pelayanan Publik yang Adil dan Berkualitas, Sad Dian Utomo dan Ilham Cendekia, Jakarta, PATTIRO, 2005, xv hal + 131 hal)
Pelayanan publik di negeri ini masih buruk. Indikasi ini terlihat manakala masyarakat sebagai pengguna pelayanan masih sering diabaikan dalam mendapatkan hak konsumennya. Kadangkala masyarakat mendapat tekanan untuk menerima dengan terpaksa bentuk pelayanan yang diberikan aparat. Kearoganan aparat pelayanan disebabkan karena tiadanya mekanisme yang memberi kesempatan kepada warga untuk mengadukan keluhan pelayanan secara intensif. Disamping tiadanya transparansi dari pengadaan pelayanan publik.

Berangkat dari situasi di atas, PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional), sebuah organisasi yang memiliki visi dalam mewujudkan peran aktif masyakarat dalam pengambilan keputusan publik, mengambil peran dengan melakukan penelitian terhadap pelayanan publik, khususnya mengenai situasi komplain. Buku ini adalah hasil penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap kondisi pelayanan publik di tiga kota yaitu Tangerang, Malang dan Semarang. Tiga unit pelayanan yang menjadi perhatian penelitian PATTIRO adalah kesehatan (puskesmas), pendidikan dasar dan pengelolaan sampah.

Tiga Paradigma Pelayanan Publik

Perkembangan pelayanan publik di Indonesia berkenaan juga dengan perkembangan paradigma pelayanan publik secara global. Ada tiga paradigma yang melihat pelayanan public dalam konteks hubungan antara pemerintah dengan warganya (hal 6-11). Pertama, pendekatan yang berorientasi pada negara pada sekitar tahun 1970-an. Negara adalah pusat dari pelayanan publik. Semua tanggung jawab dan pengelolaan dari pelayanan publik berada di tangan negara, sehingga tidak heran bila negara bisa sesumbar “kami tahu apa yang terbaik”. Negara pada saatnya nanti memiliki kewenangan dalam menentukan berbagai preferensi dalam pelayanan publik. Masyarakat diposisikan hanya sebagai konsumen saja, tanpa lebih. Respon konsumen terhadap keluhan pelayanan public tidak mendapat prioritas. Kedua, pendekatan private-oriented yang dikenal sebagai bentuk protes dari pendekatan pertama. Paradigma ini ingin menempatkan posisi swasta lebih aktif dalam pelibatan pelayanan publik yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Swasta diberikan keleluasaan untuk mengelola pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah, baik separuhnya atau secara keseluruhan. Peran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator dari segala pelayanan publik. Di sini respon konsumen terhadap pelayanan menjadi faktor penting dalam pelayanan, apalagi dengan kondisi bila ada ketidakpuasan konsumen bias beralih ke tempat lain yang lebih baik. Ketiga, paradigma private-oriented pun mendapat kritik yang pedas pula. Hal ini setelah terlihat dari dampak bahwa adanya pengkelasan dalam konsumen, mahalnya pelayanan publik atau tidak terlayaninya konsumen dari kalangan masyarakat miskin. Semua kritik tersebut menimbulkan sebuah pendekatan yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik, terutama membangun mekanisme yang memberi kesempatan kepada masyarakat terlibat aktif dalam perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan evaluasi pelayanan publik. Mekanisme ini juga dapat dimanfaatkan untuk penyaluran, penanganan dan pemanfaatan respon dari konsumen terhadap pelayanan publik.

Persepsi Masyarakat tentang Komplain Pelayanan

Hasil penelitian PATTIRO menyebutkan secara gamblang bagaimana pandangan masyarakat terhadap situasi keluhan masyarakat yang dihadapi oleh tiap unit pelayanan di tiga kota tersebut. Berbagai keluhan yang selama ini tidak terekspos oleh setiap unit pelayanan akan terlihat jelas. Secara keseluruhan dari hasil penelitian didapat bahwa lebih dari dua per tiga responden belum pernah menyatakan protes terbuka terhadap keluhan pelayanan yang diperoleh. Kecilnya angka responden yang menyatakan protes bias bervariasi antara: sudah baiknya bentuk pelayanan atau tidak adanya mekanisme pengaduan keluhan atau mungkin saja ketidakpedulian masyarakat terhadap pelayanan yang baik.

Di dalam pelayanan pendidikan misalkan, ketakutan orang tua akan adanya dampak terhadap anaknya bila mengajukan protes lebih mendominasi dari keengganan melaporkan keluhannya. Sementara dalam pelayanan kesehatan dan pengelolaan sampah, faktor penghambatnya lebih disebabkan karena masyarakat merasa pesimis terhadap perubahan dari pelayanan yang menjadi lebih baik dan juga tidak diresponnya keluhan yang ada oleh para petugas.

Mekanisme Komplain

Gagasan mekanisme komplain yang diutarakan oleh PATTIRO nampaknya ingin mengakomodasi dan memproses keluhan pelanggan dalam sebuah mekanisme yang jelas. Keterlibatan lembaga eksternal, dalam hal ini di luar relasi konsumen dan pemberi layanan menjadi titik perhatian yang harus dilembagakan. Keberadaan lembaga ini memudahkan pengawasan terhadap kinerja pelayanan publik yang sedang berjalan. Sedangkan lembaga internal penyelenggara pelayanan melakukan mekanisme pengelolaan pengaduan secara cepat berdasarkan standar yang sudah dilakukan. Sehingga, dengan adanya mekanisme yang alur serta pelakunya yang jelas memudahkan bagi setiap orang memantau perkembangan keluhannya.

Buku ini cukup menarik untuk mengetahui secara realitas pandangan masyarakat terhadap pelayanan public yang dilakukan oleh pemerintah. Karena selama ini, instansi pemerintah merasa tidak perlu dinilai dari luar atas kinerjanya. Padahal persepsi ini menjadi penting manakala pelayanan public harus berorientasi kepada partisipasi masyarakat. Penilaian kinerja oleh masyarakat luas menjadi sangat penting manakala system birokrasi kita saat ini masih terlalu memberi kesempatan bagi terciptanya KKN. Secara teknis, saya melihat semestinya buku ini juga mampu mengeksplorasi hasil penelitian persepsi tersebut karena memang berbagai kondisi yang melatar belakangi persepsi tersebut adalah menarik untuk dianalisis. Sehingga, ada justifikasi yang sangat jelas bahwa memang diperlukan mekanisme komplain di setiap unit pelayanan yang diteliti. Yang menarik lagi menurut saya adalah semestinya buku ini juga bias menampilkan inovasi yang dikembangkan oleh setiap unit di setiap kota serta hambatan-hambatannya. Sehingga tercipta wacana yang memadai dari situasi mandegnya pelayanan public yang tidak partisipatif. ***
(ALIANSI, 30/Nov 2005)

Thursday, March 17, 2005

Memahami Aktivis yang Jadi Caleg

Indopos, Kamis, 08 Jan 2004



Kita perlu melihat kira-kira motivasi yang melatarbelakangi partai dalam mengajak mantan aktivis mahasiswa menjadi caleg DPR nanti. Setidaknya, saya melihat ada tiga hal. Pertama, partai politik berkeinginan melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk yang selalu kritis. Yaitu, para aktivis LSM dan aktivis mahasiswa.

Harapan partai terhadap mereka tentu sangat besar. Partai akan memberikan ruang yang luas bagi para aktivis tersebut guna menyumbangkan ide dan pikirannya untuk berpartisipasi secara aktif dalam parlemen, bukan di jalanan seperti yang biasa mereka lakukan. Partisipasi tersebut penting untuk meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat nanti.

Kedua, beranjak dari motivasi pertama, muncul pandangan bahwa para aktivis yang notabene lebih bersih dari berbagai tuduhan KKN membuat partai bermaksud memanfaatkan peluang tersebut untuk mendongkrak perolehan suaranya.

Alasannya jelas, yakni rakyat tentu menginginkan anggota parlemen yang tidak busuk, seperti yang disuarakan gerakan moral antipolitisi busuk belakangan. Juga, sangat jelas bahwa Golkar dengan paradigma baru menginginkan kejayaannya terulang seperti masa lalu, yakni memperoleh suara terbanyak pada setiap pemilu.

Ketiga, dimungkinkan Golkar juga ingin mengulang romantisme dukungan aktivis dalam parlemen seperti yang dilakoni pada awal Orde Baru. Namun, karena para aktivis mahasiswa telah belajar dari pengalaman gerakan 1966, aktivis 1998 tidak serta merta mau diajak dalam DPR hasil Pemilu 1999. Sehingga, Golkar sekali lagi mengajak mereka setelah melihat para aktivis makin tidak puas terhadap perkembangan politik saat ini. Sayangnya, para aktivis tersebut tidak memiliki kendaraan politik. Golkar dan berbagai partai politik lainnya secara sadar menangkap peluang itu.

Reformasi yang telah berlangsung enam tahun memang tidak memberikan hasil memuaskan. Masa transisi tersebut belum tuntas, bahkan cenderung membingungkan arahnya. Berbagai kritik terhadap lambannya pemerintahan Megawati, semakin menjadi-jadinya korupsi, beratnya persoalan konflik etnis yang hingga kini belum tuntas, serta masih lemahnya penegakan hukum merupakan masalah yang terus menghantui perpolitikan saat ini.

Para aktivis yang terjun langsung melihat persoalan bangsa tersebut tentu makin gemas dan kesal terhadap ketidakjelasan arah perubahan yang diinginkan serta kondisi riil masyarakat yang belum sepenuhnya bisa bangkit dari krisis. Malah sebaliknya, perubahan dihadapi dengan konsesi serta negosiasi politik untuk menyeimbangkan sumber daya politik yang diinginkan partai. Sehingga, makin jelas bahwa tujuan mulia reformasi untuk menyejahterakan rakyat hanya sebatas slogan politik.

Berangkat dari kondisi tersebut, saya kira banyak pertimbangan yang telah mereka pikirkan secara matang untuk mau dicalonkan menjadi anggota legislatif. Ada beberapa hal. Pertama, pertimbangan strategis gerakan, terutama dalam upaya memuluskan agenda perubahan yang diinginkan masyarakat.

Berlandas hal itu, para aktivis atau mantan aktivis melihat perlu ada yang bermain dalam arena pembuat kebijakan untuk memudahkan digolkannya berbagai kebijakan yang menguntungkan rakyat. Selain itu, mereka tetap sepakat untuk ada yang terlibat di luar parlemen sebagai penekan moral yang efektif.

Kedua, pertimbangan aliansi kekuatan politik. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya penggalangan kekuatan untuk mendukung partai dengan memanfaatkan jaringan yang telah dimiliki para mantan aktivis mahasiswa, baik di HMI, KAMMI, GMKRI, maupun PMII.

Karena itu, jangan heran jika aktivis Forkot atau PMII yang dulu menghujat Golkar pada 2001 kini mau dipinang partai tersebut menjadi caleg. Sebab, jelas semua itu semata-mata merupakan kepentingan politik praktis dan mahasiswa telah menunjukkan kelihaiannya berpolitik.

Ketiga, para mantan aktivis menyadari bahwa Golkar adalah partai yang besar dan berbasis dukungan yang kuat. Sehingga, tidak ada kendala yang sangat signifikan untuk menggalang dukungan menuju kursi DPR.

Kalaupun soal tuduhan terhadap mantan aktivis mahasiswa yang terkesan mudah dirayu demi kepentingan politik, saya kira itu adalah sebuah realitas yang seharusnya dipahami bahwa politik merupakan kekuasaan. Dan, manusia dilahirkan dengan memiliki hasrat untuk berkuasa.

Namun, saya mungkin berada pada posisi yang berbaik sangka kepada teman-teman aktivis mahasiswa. Bisa jadi, motivasi gerakan moral masih menjadi pegangan mereka untuk tetap berjuang di arena yang berbeda, bukan lagi arena jalanan.

Saya pun percaya, tujuan politik mereka adalah mulia, yakni melakukan perubahan terhadap negeri ini. Jadi, cobalah kita percaya kepada niat mereka, meski perlu disadari bahwa perlu kekonsistenan gerakan moral mahasiswa tetap di jalur netralitas kepentingan politik. Akhirnya, kita lihat nanti kiprah mantan aktivis dalam gelanggang parlemen dalam menyuarakan kepentingan rakyat.

*. Aditya Perdana, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI