Friday, March 04, 2005

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP PILKADA

Minggu ini memang terasa menyakitkan buat seluruh masyarakat Indonesia. Betapa tidak, per tanggal 1 Maret 2005, harga BBM telah dinaikkan sekitar 20-40%, minus harga minyak tanah. Maka tidaklah heran bila minggu ini pula berbagai demonstrasi menentang kenaikan harga BBM tersebut. Pada saat bersamaan, minggu ini juga banyak isu yang berkaitan dengan Pilkada, terutama masalah persiapan yang sedang dilakukan oleh KPUD yang akan menyelenggarakan. Misalkan, masalah penggunaan talangan atau pinjaman untuk kepentingan pilkada, masalah anggaran Pilkada yang belum kunjung tuntas pembahasannya dan keterkaitan antara kenaikan harga BBM dan pilkada.

Memang Pilkada adalah kewenangan dari pemerintah daerah. Tetapi saat ini pemerintah daerah pun tengah pusing memikirkan cara agar Pilkada bisa berjalan meski dananya belum jelas. Ditambah pula, pemerintah pusat belum mempunyai skenario untuk memecahkan masalah dana bila ada persoalan.

Keinginan beberapa KPUD untuk menggunakan dana talangan dari pemerintah daerah adalah salah satu solusi yang akan ditempuh KPUD untuk mengatasi hal tersebut. Namun, ada pro-kontra dalam hal ini. Menteri Dalam Negeri telah menyetujui agar penggunaan dana talangan tidak memerlukan payung hukum, tetapi pemerintah provinsi Jawa Timur tidak mengijinkan bila tidak ada payung hukumnya yang jelas. Bisa jadi kejelasan ini ditempuh agar tidak ada penyelewengan dana APBD. Bayangkan saja bila pelaksanaan Pilkada di satu daerah berkisar Rp2-3 milyar tanpa ada aturan yang jelas, tentu akan membuka peluang korupsi baru! Sehingga memang perlu payung hukum dalam hal ini.

Sementara kepastian turunnya dana Pilkada akan dijamin pada pertengahan bulan Maret. Hal ini diyakini oleh Depdagri karena banyak pihak akan bekerjasama untuk menuntaskan Pilkada. Sayangnya, jadwal pilkada untuk bulan Juni 2005 sudah begitu dekat dan menjadi halangan utama bagi KPUD untuk bergerak secara progesif.

Beberapa hal di atas sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana situasi kekalutan anggaran Pilkada yang belum tuntas. Padahal target Pemerintah Pusat adalah melaksanakan Pilkada pada bulan Juni di 226 daerah. Persoalan tersebut makin dipersulit oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Walau bukan komponen inti, tetapi pemicu kenaikan harga BBM tentu akan mempengaruhi berbagai kenaikan komponen lain dalam Pilkada. Seperti yang paling kelihatan adalah distribusi logistik, pengadaan logistik dan honorarium.

Distribusi terkait dengan jasa transportasi. Padahal luas geografis Indonesia di banyak daerah sangat menyulitkan dan merepotkan untuk tempo yang singkat ini. Pengadaan logistik juga terkait dengan meningkatnya kenaikan harga pokoknya, seperti kotak suara yang terbuat dari besi atau kertas suara yang terbuat dari lembaran kertas yang cukup besar. Sementara, honorarium petugas TPS hingga PPK yang tidak sebanding dengan beban tugas mereka tentu akan semakin memberatkan bila disamakan dengan pemilu 2004.

Paling tidak menurut saya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah melakukan penghematan anggaran negara yang cukup ketat. Karena tidaklah mungkin menyelenggarakan Pilkada yang besar ini dengan tempo waktu yang begitu pendek bisa sukses bila tidak ada kejelasan anggarannya. Dari total biaya Pilkada sebesar Rp.1,557 trilyun dimana dana APBN yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp 929,568 milyar tersebut untuk 226 daerah tentu akan menjadi lebih hemat bila dilakukan langkah-langkah strategis.

Pertama, pendaftaran pemilih tidaklah perlu dilakukan kembali. Yang perlu adalah verifikasi pemilih baru baik yang mutasi atau meninggal dunia. Hal ini tentu akan menghemat waktu dan dana. paling tidak data pemilih pemilu September 2004 dapat dijadikan patokan awal penghitungan hingga Mei 2005.

Kedua, tidak perlunya pengadaan kartu pemilih seperti yang diamanatkan PP tentang Pilkada. Padahal semua pemilih yang mengikuti Pemilu 2004 sudah memiliki kartu yang dimiliki secara nasional. Adapun yang ditambah hanyalah pemilih baru atau pindahan setelah ada verifikasi. Bayangkan saja betapa tidak hematnya bila setiap pemilih nantinya akan memiliki kartu pemilu nasional, pemilu provinsi dan pemilu kabupaten/kota!

Ketiga, pengadaan logistik pemilu dapat memanfaatkan dari pemilu sebelumnya. Barang-barang penting seperti komputer, bilik suara, kotak suara ataupun kendaraan operasional tentu masih ada dan layak digunakan kembali. Apalagi bila keberadaan barang logistik tersebut masih utuh dan baik kondisinya. Sehingga, biaya logistik akan menjadi lebih hemat. Paling tidak pengeluaran yang pasti adalah surat suara, formulir-formulir dan juga pengadaan tinta pemilu. Bahkan dengan kondisi yang satu putaran saja, tentu pengadaan logistik menjadi lebih hemat lagi.

Keempat, distribusi logistik yang tidak perlu memakan ongkos yang besar. Karena hampir semua barang dan pengadaan logistik baru dipusatkan di KPUD masing-masing, yang tentunya jarak tidak begitu masalah dibandingkan dengan pemilu 2004 lalu.

Kelima, perlunya membuat perencanaan jadwal yang serentak. Karena tentu ini akan menghemat waktu, biaya dan tenaga. Apalagi bila semua dilakukan dengan satu putaran tentu akan menjadi lebih cepat penghitungannya. Sehingga yang terpenting tinggal bagaimana mengkoordinasikannya saja. Hal ini sudah dilakukan oleh KPU Sumatera Utara, Yogyakarta, Sumatera Selatan Kalimantan Barat. Tetapi menurut saya, ini tergantung kondisi politik di daerah setempat.

Keenam, penghematan TPS. Hal ini penting agar bisa menghemat jumlah honorarium petugas TPS. Ditambah pula agar terjadi efesiensi yang cukup signifikan dalam hal pengadaan barang logistik. Jumlah pemilih dalam TPS tidaklah mutlak harus maksimal 300, kalau memungkinkan dan jarak yang dekat bisa lebih dari itu.

Nampaknya sederhana sekali perhitungan yang saya buat. Tetapi paling tidak hal ini untuk langkah penghematan manakala berbagai persoalan anggaran pilkada belum terlihat jelas kepastiannya. Apalagi dikaitkan dengan kenaikan harga BBM yang tentu akan menaikkan 10 persen segala biaya produksi. Sayangnya, Mendagri menampik rencana revisi anggaran yang telah dibuat departemennya. Menurutnya tidak ada kaitan antara kenaikan dengan pilkada. Mendagri beranggapan semuanya tergantung pemerintah daerah. Padahal daerah pun kesulitan mendapat persetujuan jumlah anggaran yang diinginkan. Semestinya kalau pemerintah pusat bisa melakukan revisi tersebut tentu akan meyakinkan banyak pihak bahwa pilkada juga semestinya mendapat perhatian sebagai dampak dari kebijakan baru pemerintah.

Mau tidak mau KPUD tentu harus jalan dengan berbagai kondisi dan situasi yang ada saat ini. KPUD dan pemerintah daerah, paling tidak, akan memutar otak seserius mungkin agar pelaksanaan pilkada berjalan sukses. Apapun pilihan daerah untuk pelaksanaan Pilkada adalah sepenuhnya kewenangan mereka. Maka janganlah heran bila nanti akhirnya banyak anggota KPUD yang akhirnya menggadaikan harta demi pilkada sukses. Tetapi yang perlu diwanti-wanti adalah masuknya kepentingan partai politik terhadap kinerja KPUD nantinya. Karena seperti yang tertulis dalam UU No.32 tahun 2004 dan PP No 6/2005, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang notabene adalah partai politik. Maka perlu dihindari ada bargain politik antara DPRD yang dikuasai mayoritas tertentu mengintervensi jalannya pilkada karena ada hambatan keuangan. Sehingga, peran masyarakat mengawasi segala tahap pilkada menjadi salah satu solusi terbaik. (3 Maret 2005)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home