Wednesday, January 26, 2005

KONTROVERSI PILKADA ACEH

Menjelang tahun 2005, pemilihan kepala daerah secara langsung akan segera digelar. Berbagai persiapan secara aturan dan teknis mulai dibicarakan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Seperti halnya juga di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi persiapan pilkada (pemilihan kepala daerah) di Aceh sudah menuai persoalan manakala aturan dalam UU No.32/2004 bertentangan dengan UU No.18/2001 tentang pemberlakukan otonomi khusus bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Memang nantinya pemerintah pusat akan memberlakukan PP (Peraturan Pemerintah) yang akan dijadikan pedoman lanjutan bagi penyelenggaraan pemilihan langsung ini. Tetapi hingga saat ini beberapa pasal menyangkut pemilihan kepala daerah memiliki makna interpretasi ganda ataupun ketidakjelasan yang nantinya akan merugikan masyarakat Aceh.
Adapun beberapa isu penting yang nantinya akan menuai kritik mendalam diantaranya adalah: waktu penyelenggaraan, siapa penyelenggaranya, kemudian syarat pencalonan dan lainnya. Ketidak samaan atau kesimpang siuran yang terjadi dalam aturan dasar penyelenggaraan pilkada Aceh tentu berdampak kepada masyarakat. Padahal, saat ini masyarakat Aceh menginginkan perubahan yang mendasar terutama dalam hal kepastian kepemimpinan di provinsi Aceh manakala Abdullah Puteh masih dalam status tersangka. Sehingga, seyogyanya aturan pilkada khususnya di Provinsi Aceh harus diperjelas demi kepentingan masyarakat Aceh secara luas. Tulisan ini akan membahas beberapa hal pasal kontroversi tersebut dalam aturan pilkada Aceh.
Penyelenggara Pemilu
Pada pasal 13 ayat 1 UU No.18/2001 (yang nantinya diperjelas dalam Qanun No.2/2004 tentang pemilihan kepala daerah di NAD) disebutkan bahwa penyelenggara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). KIP ini dibentuk oleh DPRD Provinsi. Kedudukan KIP bersifat independen dan non partisan, sehingga tidak berhirarki dengan penyelenggara pemilu atau organisasi pemerintah lainnya. Pertanggung jawaban KIP kepada DPRD provinsi. Namun demikian, UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah, penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut pasal 57 ayat 1 adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah yang bertanggungjawab kepada DPRD, yang merupakan bagian hirarkis dari KPU pusat. Kedua komisi tersebut juga memiliki struktur yang hampir sama dari tingkat provinsi hingga tingkat TPS, yang membedakan hanyalah nama saja.
Persoalannya kini adalah siapakah yang menjadi penyelenggara pemilu kepala daerah di Aceh? Karena berdasarkan kedua UU tersebut jelas terlihat ada dua lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPUD dan KIP. Sebenarnya masyarakat Aceh menginginkan KIP karena dengan semangat otonom dan kemandirian maka pilkada diadakan oleh lembaga yang bersifat independen pula, bukan lembaga yang hirarkis dari pemerintahan pusat. Pembuat UU No.32/2004 tidak menyadari semangat ini, kalaupun disebutkan mengenai KIP hanya disebutkan dalam pasal penjelasan mengenai keanggotaan KIP dimana salah satu keanggotaan dari unsur KPU berasal dari KPUD Provinsi (pasal 226 ayat e dan juga penjelasan pasal 226 ayat 3). Kalaupun mau merujuk kepada UU No.32, tidak disebutkan secara eksplisit mengenai siapa penyelenggara pilkada di NAD, apakah KPUD atau KIP.
Pencalonan
Dalam hal pencalonan, di UU No.32 pasal 59 disebutkan bahwa pencalonan peserta pemilu dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan syarat tertentu. Calon independen dibuka peluangnya namun harus melalui mekanisme yang ada di dalam partai politik. Dalam UU No.18 tidak disebutkan secara detail mengenai syarat pencalonan. Masalah pencalonan dipertegas dalam Qanun No.2 tentang pilkada pada pasal 33 ayat (1) bahwa calon peserta bisa berasal dari calon independen, dari partai politik atau koalisi partai politik.
Sehingga, mengenai pencalonan secara otomatis pun dapat membingungkan karena akhirnya UU No.32 berlaku secara keseluruhan karena UU No.18 tidak menyebutkan secara detail menganai aturan pencalonan. Padahal semangat Qanun yang mengatur calon independen terbuka lebar dibandingkan aturan dalam UU No.32. Dengan aturan yang dibuat demikian maka sudah tertutup bagi calon yang memiliki kapabilitas luas tanpa afiliasi partai politik.
Waktu Penyelenggaraan
Pada dasarnya pilkada di Aceh sudah ditetapkan waktunya menurut UU No.18/2001 pada pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung secepat-cepatnya 5 tahun sejak undang-undang diundangkan. Sehingga dapat diartikan secepatnya tahun 2006, pilkada di Aceh harus dilangsungkan. Namun UU No.32/2004 mengatur lebih rinci (pasal 226 ayat 3) bahwa pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya hingga dengan bulan April 2005 dapat diselenggarakan pemilu pada bulan Mei 2005. Berarti jelas UU No.32 menginginkan Aceh juga termasuk daerah yang dipercepat pilkadanya. Ketidakkonsistenan jadwal penyelenggaraan inilah yang juga menjadi titik poin krusial yang harus dipertanyakan, apakah pilkada di Aceh harus bersamaan dengan daerah lain ataukah menunggu hingga tahun 2006 disesuaikan dengan yang diamanatkan oleh UU No.18/2001. Karena kalau ingin memakai perangkat UU No.32, berarti kesiapan aturan pelaksana di Aceh juga mesti disiapkan manakala pada saat bersamaan dengan itu masih banyak pasal yang sifatnya kontroversial.
Solusi
Kontroversi aturan pilkada di Aceh ini harus dituntaaskan bila tidak ingin permasalahan ke depan akan semakin berlarut-larut. Saya hanya memperkirakan kalau tidak ada kejelasan aturan maka akan terjadi kesemrawutan sistem yang diakibatkan tidak akomodatifnya perancang undang-undang terhadap masalah di Aceh. Saya pikir solusi yang paling jitu adalah mengamandemen UU No.32/2004 dengan penyesuaian dan penegasan mengenai pilkada di Aceh. Karena penjelasan dalam UU No.32 tidak memadai mengenai kondisi yang terjadi di Aceh,khususnya mengenai penyelenggara pemilu. Padahal masyarakat Aceh menginginkan sebuah kondisi yang khusus mengenai pemilihan kepala daerahnya.
Hemat saya, aturan perbaikan mengenai penyelenggara pemilu dapat ditambahkan pada klausul penjelasan bahwa untuk pemilu di Aceh diselenggarakan oleh KIP, bukan KPUD. Sementara kewenangan KIP diberi kebebasan untuk menetapkan bagaimana petunjuk teknis dalam pemilu dengan bimbingan dari KPU. Aturan kedua juga mesti diperjelas bagaimana syarat pencalonan, apakah dimungkinkan kembali masuknya calon independen tanpa afiliasi dengan partai politik. Hal ini perlu desakan politik dari tokoh di Aceh bila menginginkan calon independen masuk dalam prasyarat. Sementara, waktu penyelenggara bisa akan segera mengikuti manakala aturan lainnya sudah jelas dan diperinci. Karena penyelenggaraan pemilu dapat dilaksanakan kapan sajan bila kelembagaannya sudah pasti dan jelas tanpa ada kontroversi lagi.
(8 November 2004)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home