Wednesday, January 26, 2005

PROBLEMA TAHAPAN PELAKSANAAN PILKADA TIGA BULAN

Pekan ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pilkada rencananya akan dibawa dalam sidang kabinet. Isu yang berkembang dihembuskan oleh Menteri Dalam Negeri, M.Ma’aruf bahwa tahapan pilkada akan disingkat prosesnya dari semula 6 (enam) bulan menjadi hanya tiga bulan. Alasannya adalah untuk efisiensi dan efektifitas waktu pelaksanaan agar tidak menimbulkan konflik daerah yang berkepanjangan. Tentu saja hal ini menyentakkan para anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang memiliki tugas menyelenggarakan pilkada pada bulan Juni 2005 nanti. Kenapa? Karena jelas bahwa dibutuhkan tenaga ekstra keras untuk menyiapkan segala tahapan yang rumit dan kompleks dalam kurun waktu yang begitu singkat. Padahal menurut mereka, idealnya persiapan pemilu adalah empat sampai enam bulan.
Kalau proses tahapan pilkada dilaksanakan selama tiga bulan, dapat diartikan bahwa bulan Maret 2005 sudah dimulai pelaksanaan tersebut. Namun, hingga sekarang hambatan konstitusional yang menjadi kegelisahan banyak pihak di daerah adalah belum tuntasnya PP tentang Pilkada yang menjadi payung aturan hukum pelaksana pilkada nanti. Tanpa adanya PP, seperti yang diamanatkan UU no.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, KPUD sebagai pelaksana pilkada tidak dapat menjalankan fungsinya.
Problema tahapan pelaksanaan Pilkada yang dipercepat sesungguhnya mencerminkan ketidaksiapan pemerintah pusat untuk penyelenggaraan pilkada. Ketidaksiapan ini dapat terlihat jelas manakala RPP sebagai aturan hukum pilkada mengalami proses pembahasan yang begitu lama (kurang lebih dua bulan) dan juga perubahan isu serta substansi RPP yang terus berubah-ubah. Awalnya Pemerintah meyakini bahwa RPP akan dituntaskan segera di akhir tahun 2004, kemudian diikuti berbagai perubahan substansi yang lebih dipersingkat pun menjadi perhatian pembuat RPP. Dan terakhir, perubahan tahapan yang dipersingkat. Dari ketidaksiapan tersebut memunculkan kegelisahan dari pelaksana pilkada yaitu KPUD tentang bagaimana tahapan dan proses pilkada nanti akan berlangsung.
Menurut saya, setidaknya ada tiga tahapan pilkada yang berada dalam posisi riskan apabila proses tersebut dipersingkat. Riskan dalam pengertian bahwa kekhawatiran akan jadwal padat mengakibatkan konflik, baik di internal penyelenggara pemilu, peserta pemilih atau masyarakat secara keseluruhan. Sebelumnya dapat diketahui, tahapan pelaksanaan pilkada menyangkut enam kegiatan utama, yaitu: persiapan pemilihan dan pembentukan panitia pemilihan, pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara dan pengesahan dan penetapan pasangan calon. Dan, tiga tahapan pilkada yang riskan untuk dipersingkat yaitu: tahapan persiapan pemilihan, pendaftaran pasangan calon dan kampanye. Namun demikian, semua penjelasan saya nanti akan berasumsikan pada waktu penyelenggaraan enam bulan.
Tahapan persiapan pemilihan
Menurut RPP, tahapan persiapan pemilihan dimulai ketika pemberitahuan masa berakhir kepala daerah kepada DPRD dan dimantapkan oleh ketetapan jadwal kerja KPUD untuk pilkada. Kemudian, KPUD membentuk struktur dan organ kepanitian pemilu hingga tingkat TPS untuk masa kerja selama masa tahapan yaitu enam bulan. Persiapan yang penting kemudian menyangkut bagaimana persiapan logistik baik dari proses pendataan pemilih tambahan, pengadaan kotak suara dan perlengkapan pemilu lainnya dan hal teknis lainnya merupakan persoalan kompleks yang pasti dihadapi oleh KPUD. Apalagi bila nanti proses pengadaan tersebut harus bersifat transparan dan akuntabel tentu membutuhkan persiapan yang lebih matang. Secara keselurahan tahapan persiapan tersebut akan terasa kesibukannya pada bulan pertama hingga ketiga. Paling tidak kegiatan utama seperti pendaftaran pemilih dan pemutakhiran data pemilih akan berlangsung pada saat bersamaan dengan proses pencalonan kepala daerah, pengadaan logistik serta pencetakan dan distribusi logistik.
Bisa dibayangkan bahwa proses yang lumayan padat tersebut dalam jangka waktu enam bulan saja sudah begitu merepotkan aktivitas KPUD apalagi nantinya dalam kurun tiga bulan, yang terkesan menjadi terburu-buru sehingga kerja profesional sulit didapatkan. Tetapi, kalaupun pemerintah berkehendak tetap akan mempersingkat tahapan pilkada, sebaiknya ada beberapa tahapan yang sudah dipertimbangkan secara matang untuk dimulai hari ini. Seperti, pembentukan struktur panitia pemilihan. Semestinya yang bisa dilakukan dengan mendata kembali panitia yang sudah ada dan disiapkan untuk bekerja kembali, tidak memulai dari awal, termasuk juga panitia pengawasan (panwas). Sementara itu, pendaftaran pemilih dapat mempergunakan data pemilu yang lalu dan segera dimutakhirkan. Proses ini saya pikir bisa dipercepat asalkan pemutakhiran data hanya berlaku khusus untuk orang yang mengalami mutasi kependudukan. Di samping itu, pada tahap persiapan juga diberlangsungkan pemantapan pelatihan bagi panitia agar mereka lebih menyadari fungsi dan tugasnya nanti.
Tahapan pendaftaran pasangan calon
Menurut RPP, tahapan pendaftaran pasangan calon memakan waktu sekitar 34 hari sejak pengumuman pendaftaran. Adapun substansi tahapan yang akan disingkat menyangkut tahapan pendaftaran ini, dimana masa pencalonan ataupun perbaikan dan lainnya masing-masing memakan waktu 7 (tujuh) hari dipersingkat hanya menjadi 3 (tiga) hari saja. Pertanyaannya kemudian adalah kebanyakan berkas yang harus disiapkan oleh pasangan calon menyangkut legalitas lembaga hukum, seperti kepolisian, pengadilan dan lainnya, sehingga apakah lembaga-lembaga tersebut bisa disiapkan untuk kerja ekstra cepat untuk memproses berkas-berkas yang dibutuhkan pasangan calon? Dan, kelemahan ini terletak pada kesiapan SDM di lembaga pemerintah lainnya. Belum lagi, kekhawatiran pengerahan massa dari pasangan calon akan ketidak puasan kerja KPUD yang bisa menuai konflik baru.
Menurut hemat saya, sebaiknya proses pendaftaran pasangan calon tidak dipersingkat secara drastis, tetapi diupayakan ada proses yang lebih dimudahkan dan diupayakan secepat mungkin. Seperti salah satunya adalah proses penelitian berkas pasangan calon yang dilakukan KPUD bisa dipercepat. Karena saya menyadari lemahnya kinerja birokrasi pemerintahan untuk bekerja keras.
Tahapan kampanye
Menurut RPP, tahapan kampanye dan dana kampanye memakan waktu sekitar dua bulan lebih. Masa kampanyenya sendiri memakan waktu dua minggu. Namun, urusan dana kampanye yang memakan waktu cukup lama karena menyangkut audit dan pembuatan laporan dana kampanye pasangan calon. Proses ini memang akan lama karena tidaklah mudah untuk mengaudit dana kampanye berdasarkan pengalaman pada pemilu lalu. Masa kampanye pun janganlah dipersingkat karena sosialisasi pilkada selama ini pun terasa kurang. Bahkan nanti apabila tidak ada pembatasan jelas masa kampanye dikhawatirkan maraknya kampanye terselubung yang dilakukan oleh pasangan calon. Sehingga, hemat saya, tahapan kampanye ini jangan dipersingkat karena nanti akan berdampak pada pemilih untuk mau memilih.
Persoalannya kemudian adalah KPUD saat ini tidak bisa berbuat banyak dalam mempersiapkan pilkada. Alasannya adalah kerja mereka tergantung dari PP yang semestinya sudah siap. KPUD sebenarnya beranggapan banyak pekerjaan yang bisa dicicil, tetapi lagi-lagi semua terhambat aturan hukum yang ada.
Secara keseluruhan, semestinya pemerintah pusat harus mempertimbangkan secara matang urgensi penyingkatan tahapan pilkada, bukan hanya karena didasarkan efektivitas dan efisiensi semata. Tetapi tetap harus mempertimbangkan kemampuan organisasi pelaksana pemilu sendiri yaitu KPUD. Karena KPUD di setiap daerah memiliki kesulitan yang beragam dalam pelaksanaan pemilu. Dan, semestinya KPU Nasional sudah memiliki evaluasi nasional dari semua KPUD untuk melihat kebutuhan apa yang mesti dipersiapkan untuk pilkada nanti.
Pilkada tahun ini merupakan percobaan pemilu lokal yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin lokal yang lebih berkualitas dan dipercaya rakyat. Tetapi, pilkada akan menjadi ternodai apabila proses yang berlangsung pun tidaklah baik dalam tahapan pelaksanaannya. Pro-kontra terhadap pilkada dan juga kebutuhan payung hukum yang pasti terhadap pilkada sebenarnya menunjukkan banyak harapan pilkada di berbagai daerah akan sukses.
(26 Januari 2005)

KONTROVERSI PILKADA ACEH

Menjelang tahun 2005, pemilihan kepala daerah secara langsung akan segera digelar. Berbagai persiapan secara aturan dan teknis mulai dibicarakan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Seperti halnya juga di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi persiapan pilkada (pemilihan kepala daerah) di Aceh sudah menuai persoalan manakala aturan dalam UU No.32/2004 bertentangan dengan UU No.18/2001 tentang pemberlakukan otonomi khusus bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Memang nantinya pemerintah pusat akan memberlakukan PP (Peraturan Pemerintah) yang akan dijadikan pedoman lanjutan bagi penyelenggaraan pemilihan langsung ini. Tetapi hingga saat ini beberapa pasal menyangkut pemilihan kepala daerah memiliki makna interpretasi ganda ataupun ketidakjelasan yang nantinya akan merugikan masyarakat Aceh.
Adapun beberapa isu penting yang nantinya akan menuai kritik mendalam diantaranya adalah: waktu penyelenggaraan, siapa penyelenggaranya, kemudian syarat pencalonan dan lainnya. Ketidak samaan atau kesimpang siuran yang terjadi dalam aturan dasar penyelenggaraan pilkada Aceh tentu berdampak kepada masyarakat. Padahal, saat ini masyarakat Aceh menginginkan perubahan yang mendasar terutama dalam hal kepastian kepemimpinan di provinsi Aceh manakala Abdullah Puteh masih dalam status tersangka. Sehingga, seyogyanya aturan pilkada khususnya di Provinsi Aceh harus diperjelas demi kepentingan masyarakat Aceh secara luas. Tulisan ini akan membahas beberapa hal pasal kontroversi tersebut dalam aturan pilkada Aceh.
Penyelenggara Pemilu
Pada pasal 13 ayat 1 UU No.18/2001 (yang nantinya diperjelas dalam Qanun No.2/2004 tentang pemilihan kepala daerah di NAD) disebutkan bahwa penyelenggara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). KIP ini dibentuk oleh DPRD Provinsi. Kedudukan KIP bersifat independen dan non partisan, sehingga tidak berhirarki dengan penyelenggara pemilu atau organisasi pemerintah lainnya. Pertanggung jawaban KIP kepada DPRD provinsi. Namun demikian, UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah, penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut pasal 57 ayat 1 adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah yang bertanggungjawab kepada DPRD, yang merupakan bagian hirarkis dari KPU pusat. Kedua komisi tersebut juga memiliki struktur yang hampir sama dari tingkat provinsi hingga tingkat TPS, yang membedakan hanyalah nama saja.
Persoalannya kini adalah siapakah yang menjadi penyelenggara pemilu kepala daerah di Aceh? Karena berdasarkan kedua UU tersebut jelas terlihat ada dua lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPUD dan KIP. Sebenarnya masyarakat Aceh menginginkan KIP karena dengan semangat otonom dan kemandirian maka pilkada diadakan oleh lembaga yang bersifat independen pula, bukan lembaga yang hirarkis dari pemerintahan pusat. Pembuat UU No.32/2004 tidak menyadari semangat ini, kalaupun disebutkan mengenai KIP hanya disebutkan dalam pasal penjelasan mengenai keanggotaan KIP dimana salah satu keanggotaan dari unsur KPU berasal dari KPUD Provinsi (pasal 226 ayat e dan juga penjelasan pasal 226 ayat 3). Kalaupun mau merujuk kepada UU No.32, tidak disebutkan secara eksplisit mengenai siapa penyelenggara pilkada di NAD, apakah KPUD atau KIP.
Pencalonan
Dalam hal pencalonan, di UU No.32 pasal 59 disebutkan bahwa pencalonan peserta pemilu dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan syarat tertentu. Calon independen dibuka peluangnya namun harus melalui mekanisme yang ada di dalam partai politik. Dalam UU No.18 tidak disebutkan secara detail mengenai syarat pencalonan. Masalah pencalonan dipertegas dalam Qanun No.2 tentang pilkada pada pasal 33 ayat (1) bahwa calon peserta bisa berasal dari calon independen, dari partai politik atau koalisi partai politik.
Sehingga, mengenai pencalonan secara otomatis pun dapat membingungkan karena akhirnya UU No.32 berlaku secara keseluruhan karena UU No.18 tidak menyebutkan secara detail menganai aturan pencalonan. Padahal semangat Qanun yang mengatur calon independen terbuka lebar dibandingkan aturan dalam UU No.32. Dengan aturan yang dibuat demikian maka sudah tertutup bagi calon yang memiliki kapabilitas luas tanpa afiliasi partai politik.
Waktu Penyelenggaraan
Pada dasarnya pilkada di Aceh sudah ditetapkan waktunya menurut UU No.18/2001 pada pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung secepat-cepatnya 5 tahun sejak undang-undang diundangkan. Sehingga dapat diartikan secepatnya tahun 2006, pilkada di Aceh harus dilangsungkan. Namun UU No.32/2004 mengatur lebih rinci (pasal 226 ayat 3) bahwa pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya hingga dengan bulan April 2005 dapat diselenggarakan pemilu pada bulan Mei 2005. Berarti jelas UU No.32 menginginkan Aceh juga termasuk daerah yang dipercepat pilkadanya. Ketidakkonsistenan jadwal penyelenggaraan inilah yang juga menjadi titik poin krusial yang harus dipertanyakan, apakah pilkada di Aceh harus bersamaan dengan daerah lain ataukah menunggu hingga tahun 2006 disesuaikan dengan yang diamanatkan oleh UU No.18/2001. Karena kalau ingin memakai perangkat UU No.32, berarti kesiapan aturan pelaksana di Aceh juga mesti disiapkan manakala pada saat bersamaan dengan itu masih banyak pasal yang sifatnya kontroversial.
Solusi
Kontroversi aturan pilkada di Aceh ini harus dituntaaskan bila tidak ingin permasalahan ke depan akan semakin berlarut-larut. Saya hanya memperkirakan kalau tidak ada kejelasan aturan maka akan terjadi kesemrawutan sistem yang diakibatkan tidak akomodatifnya perancang undang-undang terhadap masalah di Aceh. Saya pikir solusi yang paling jitu adalah mengamandemen UU No.32/2004 dengan penyesuaian dan penegasan mengenai pilkada di Aceh. Karena penjelasan dalam UU No.32 tidak memadai mengenai kondisi yang terjadi di Aceh,khususnya mengenai penyelenggara pemilu. Padahal masyarakat Aceh menginginkan sebuah kondisi yang khusus mengenai pemilihan kepala daerahnya.
Hemat saya, aturan perbaikan mengenai penyelenggara pemilu dapat ditambahkan pada klausul penjelasan bahwa untuk pemilu di Aceh diselenggarakan oleh KIP, bukan KPUD. Sementara kewenangan KIP diberi kebebasan untuk menetapkan bagaimana petunjuk teknis dalam pemilu dengan bimbingan dari KPU. Aturan kedua juga mesti diperjelas bagaimana syarat pencalonan, apakah dimungkinkan kembali masuknya calon independen tanpa afiliasi dengan partai politik. Hal ini perlu desakan politik dari tokoh di Aceh bila menginginkan calon independen masuk dalam prasyarat. Sementara, waktu penyelenggara bisa akan segera mengikuti manakala aturan lainnya sudah jelas dan diperinci. Karena penyelenggaraan pemilu dapat dilaksanakan kapan sajan bila kelembagaannya sudah pasti dan jelas tanpa ada kontroversi lagi.
(8 November 2004)

Wednesday, January 05, 2005

Peringatan Tuhan buat kita

Kita tidak pernah memahami apa yang dimaui oleh Tuhan. Bencana kami adalah bukti kemarahan atas kelalaian dan kesembronoan kami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aceh yang menjadi bukti derita panjang tersebut kini mulai menyadari sebegitu besarnya kuasa Tuhan. Semua hancur, semua harta habis. Tapi pernahkah Anda membayangkan jikalau masih ada kuasa Tuhan atas bencana ini manakala Mesjid Raya Aceh yang hanya berjarak 500 meter dari pantai tidak hancur!!

Kita semua telah mendapat peringatan ini. Peringatan yang begitu dahsyat sehingga semua harus bersedih dan merenung kembali. Semoga dan terus berharap, masyarakat Aceh menjadi rukun dan bersatu. Semoga dan terus berharap, GAM yang konyol itu mau kembali membantu saudara-saudara mereka. Dan semoga kita semua mau memberi perhatian lebih bagi terbangunnya kondisi yang lebih baik di Aceh, meski butuh waktu.

Kini, saya hanya takut bahwa ini adalah peringatan awal Tuhan atas segala kelalaian kita. Saya hanya takut bahwa kita tidak pernah sadar akan kesalahan ini. Saya pun semakin takut bahwa ini adalah pertanda kiamat sudah dekat, sementara kita masih punya banyak salah...